SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.

Judul Posting : SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Link : SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM




I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Prinsip kerjasama (akad) dalam Ekonomi Islam yang banyak dikenal adalah prinsip bagi hasil. Pertanian sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, juga tak luput dari adanya prinsip kerjasama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai tanah, tetapi tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu untuk bertani dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian atau perkebunan. Sehingga dengan adanya kerjasama dengan prinsip bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah sistem kerjasama yang saling menguntungkan dengan memberdayakan lahan pertanian dan perkebunan tersebut. Istilah-istilah Ekonomi Islam yang digunakan untuk kerjasama bagi hasil dalam pertanian, antara lain Muzara’ah(Harvest-Yield Profit Sharing) dan Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield).
  Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan mengenai pihak mana yang memberikan benih. Jika benih berasal dari pemilik lahan, maka disebut muzara’ah, sedangkan jika benihnya berasal dari penggarap, maka disebut mukhabarah.
  Muzara’ah telah dipraktikan sejak zaman Rasullullah dan khulafaur rasyidin. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar ra, menyebutkan bahwa Rasullullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Bukhari juga mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far: “tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 atau 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali”.
  Selain Muzara’ah, kerjasama pertanian berprinsip bagi hasil lainnya adalah Musaqah. Musaqah merupakan bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Musaqah juga pernah dipraktikan oleh Rasullullah SAW. Beliau memberikan tanah yang telah ditanami kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalannya, Yahudi Khaibar memperoleh persentase tertentu dari hasil panen. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka dengan rasio 1/3 dan 1/4.
  Hingga kini, konsep kerjasama bagi hasil dalam pertanian masih dipraktikan di berbagai belahan dunia dan terbukti mampu meningkatkan produktifitas kerja. Tidak hanya oleh negara-negara muslim, kerjasama dengan prinsip bagi hasil juga diterapkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim. 
  Pengelolaan usahatani dengan pola bagi hasil juga dikenal dalam budaya Indonesia dengan berbagai sebutan seperti maro (1:1) dan mertelu (1:2) di Jawa Tengah, Nengah (1:1) dan Jejuron (1:2) di Priangan, dan berbagai sebutan lainnya. Secara umum, perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960. Perjanjian ini lahir berdasarkan ketentuan hukum adat di Indonesia dan dilatarbelakangi karena ketidakmampuan atau tidak adanya kesempatan bagi pemilik tanah untuk mengolah lahan sendiri, dan tidak adanya atau kurangnya lahan garapan yang dimiliki petani penggarap serta adanya keinginan petani penggarap untuk mendapatkan tambahan hasil garapan.
  Pengelolaan usahatani dengan pola bagi hasil perlu dilestarikan karena sejalan dengan prinsip syariah (muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah). Selain itu, berbagai penelitian menyebutkan sistem ini telah mampu meningkatkan produktifitas dan pendapatan petani secara berkeadilan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari pengelolaan usahatani tersebut terutama mengenai ketegasan hak dan kewajiban dari pemilik tanah dan petani penggarap yang perlu dijelaskan dalam perjanjian secara tertulis, pelaporan pada pemerintah daerah (camat) setempat, dan pengumuman oleh Kepala Desa. Hal ini juga termaktub di dalam UU No. 2 Tahun 1960 sebagai tujuan dikeluarkannya UU Bagi Hasil untuk memberikan kepastian hukum kepada petani penggarap serta menegaskan hak dan kewajiban bagi petani penggarap dan pemilik tanah.

B. Tujuan

Mengetahui hukum sistem bagi hasil (maro) dalam pertanian menurut perspektif islam.



II. PEMBAHASAN

Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Kazarian, 1991). Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. 

Di Madinah masa itu system bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan muzara’ah, (An-Nadwi, 2006). Mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal penggarapnya, (Hosen dan Ali, 2007). Muzara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal pemilih lahan, (Hosen dan Ali, 2007). Praktek bagi hasil yang dijalankan di Mekah masa itu adalah kerja sama perdagangan (usaha) dalam bentuk shirkah dan mudharabah. 

Aktivitas berusaha dan bekerja sangat dipengaruhi oleh kondisi suatu dearah dimana masyarakat hidup. Mayoritas masyarakat Indonesia hidup dan bermukim di daerah pedesaan dan menguntungkan bagi kehidupan mereka pada sektor pertanian dan perkebunan. Namun ada beberapa masyarak di pedesaan yang menjadi petani di lahan sendiri maupun sebagai petani penggarap di lahan milik orang lain. Praktek muamalah pada pengolahan tanah pada umumnya dilakuakan dengan cara bagi hasil dengan pihak lain. Pada tiap-tiap daerah di Indonesia, sistem bagi hasil memiliki istilah yang berbeda beda misalnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta dikenal dengan istilah maro atau mertelu. Di Jawa Barat istilah bagi hasil dikenal dengan istilah negah atau jejuron dan di Lombok dikenal sebagai nyakap.

Bagi hasil dalam pertanian merupakan bentuk pemanfaatan tanah merupakan dimana pembagian hasil terdapat dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja yang dilaksanaakan menurut perbandingan tertentu dari hasil tanah. Di dalam islam terdapat berbagai akad mengenai sistem bagi hasil dalam bidang pertanian seperti Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing) dan Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield). Muzara’ah telah dipraktikan sejak zaman Rasullullah dan khulafaur rasyidin. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar ra, menyebutkan bahwa Rasullullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Bukhari juga mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far: “tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 atau 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali”.

Selain Muzara’ah, kerjasama pertanian berprinsip bagi hasil lainnya adalah Musaqah. Musaqah merupakan bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Musaqah juga pernah dipraktikan oleh Rasullullah SAW. Beliau memberikan tanah yang telah ditanami kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalannya, Yahudi Khaibar memperoleh persentase tertentu dari hasil panen. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka dengan rasio 1/3 dan 1/4.

Prinsip kerjasama (akad) dalam Ekonomi Islam yang banyak dikenal adalah prinsip bagi hasil. Pertanian sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, juga tak luput dari adanya prinsip kerjasama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai tanah, tetapi tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu untuk bertani dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian atau perkebunan. Sehingga dengan adanya kerjasama dengan prinsip bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah sistem kerjasama yang saling menguntungkan dengan memberdayakan lahan pertanian dan perkebunan tersebut. Istilah-istilah Ekonomi Islam yang digunakan untuk kerjasama bagi hasil dalam pertanian, antara lain Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing) dan Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield).

Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan mengenai pihak mana yang memberikan benih. Jika benih berasal dari pemilik lahan, maka disebut muzara’ah, sedangkan jika benihnya berasal dari penggarap, maka disebut mukhabarah (Pasaribu et al., 2006).

Muzara’ah telah dipraktikan sejak zaman Rasullullah dan khulafaur rasyidin. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar ra, menyebutkan bahwa Rasullullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Bukhari juga mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far: “tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 atau 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali”.

Selain Muzara’ah, kerjasama pertanian berprinsip bagi hasil lainnya adalah Musaqah. Musaqah merupakan bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Musaqah juga pernah dipraktikan oleh Rasullullah SAW. Beliau memberikan tanah yang telah ditanami kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalannya, Yahudi Khaibar memperoleh persentase tertentu dari hasil panen. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka dengan rasio 1/3 dan 1/4.

Pengelolaan usahatani dengan pola bagi hasil juga dikenal dalam budaya Indonesia dengan berbagai sebutan seperti maro (1:1) dan mertelu (1:2) di Jawa Tengah, Nengah (1:1) dan Jejuron (1:2) di Priangan, dan berbagai sebutan lainnya. Secara umum, perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960. Perjanjian ini lahir berdasarkan ketentuan hukum adat di Indonesia dan dilatarbelakangi karena ketidakmampuan atau tidak adanya kesempatan bagi pemilik tanah untuk mengolah lahan sendiri, dan tidak adanya atau kurangnya lahan garapan yang dimiliki petani penggarap serta adanya keinginan petani penggarap untuk mendapatkan tambahan hasil garapan.

Pengelolaan usahatani dengan pola bagi hasil perlu dilestarikan karena sejalan dengan prinsip syariah (muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah). Selain itu, berbagai penelitian menyebutkan sistem ini telah mampu meningkatkan produktifitas dan pendapatan petani secara berkeadilan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari pengelolaan usahatani tersebut terutama mengenai ketegasan hak dan kewajiban dari pemilik tanah dan petani penggarap yang perlu dijelaskan dalam perjanjian secara tertulis, pelaporan pada pemerintah daerah (camat) setempat, dan pengumuman oleh Kepala Desa. Hal ini juga termaktub di dalam UU No. 2 Tahun 1960 sebagai tujuan dikeluarkannya UU Bagi Hasil untuk memberikan kepastian hukum kepada petani penggarap serta menegaskan hak dan kewajiban bagi petani penggarap dan pemilik tanah.

Menurut Haroen dna Fiqih (2000), adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu. Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:

1. Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase. 
2. Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.

          Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.

A. Dasar hukum muzara’ah

          Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
          Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

B. Rukun dan syarat muzara’ah

           Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah
1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek al-muzaraah
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan

Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus 
disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.

   Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung 
oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada 
kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

C. Macam-macam Bentuk Akad Muzâra’ah

Ada empat bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua murid Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih dan satu lainnya akad bathil.

1. Apabila tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan (peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini diperbolehkan. Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari pihak penggarap. Karena  hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja.

2. Apabila tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti.

3. Apabila tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.

4. Apabila tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini tidak diperbolehkan. Ini termasuk akad yang fasid.  Apabila kita kiaskan akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan adanya hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa (ijârah). Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan) bagian dari tanah sebab adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan kata lain bahwa manfaat hewan (peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang ada dalam pemanfaatan tanah itu sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam sedangkan hewan (peralatan) berfungsi untuk bekerja dan mengolah tanah.

D. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah

          Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah melarang dilakukannya muzara`ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil Hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya (muzara`ah). Bunyi Haditsnya sebagai berikut:

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِحَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang.
              (H.R. Bukhari).

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.
Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari)

عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)

          Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw melarang menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi hasil dari hasil pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Rafi’ ibnu Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong dari sabda Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah tersebut sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih mengetahui hadits tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah melarang menyewakan tanah dikarenakan pada suatu hari ada dua orang saling bunuh membunuh disebabkan masalah penyewaan tanah yang tidak adil tersebut, maka keluarlah hadits tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع
Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)
          Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzara’ah) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.

          Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara’ahsecara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول: إن رسول الله نهى عنها، فذكرت لطاوس فقال: قال لي أعلمهم (يقصد ابن عباس) إن رسول الله لم ينه عنها ولكن قال: لأن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخذ عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة
“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan, hingga aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,”Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas ra),”Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya berkata,”Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.”(HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)

          Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
  Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:
1. Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
2. Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.

Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.


E. Dampak Hukum Muzâra’ah Fasid dan Sahih

  Akad muzâra’ah menjadi shahih ketika segala syarat telah terpenuhi,  berikut pandangan mazhab Hanafi tentang dampaknya : [16]
1. Pihak penggarap berkewajiban untuk menjaga tanaman.
2. Biaya operasional tanaman ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan bagian yang disepakati.
3. Pembagian sesuai dengan kesepakatan.
4. Akad ini tidak lazim bagi pemilik benih dan lazim bagi pihak yang lain.
5. Menjaga dan menyiram tanaman adalah kewajiban pihak penggarap bila disiram dengan pengairan.  Sedangkan pemilik lahan mempunyai hak paksa kepada penggarap ketika lalai dalam pekerjaannya.

Allah SWT merupakan pencipta dan pengatur seluruh aspek kehidupan di muka bumi ini. Pengaturan segala sesuatu yang ada di bumi ini telah dijamin kebermanfaatan serta hikmahnya. Semua aspek di seluruh dunia telah diatur dan dikendalikan oleh Allh SWT, tak terkecuali dalam urusan bisnis. Allah SWT telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl; 89).

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa. Dewasa ini, kegiatan bisnis di bidang petanian pada umumnya melibatkan dua orang yang memegang peran penting dalam kegiatan tersebut, yakni investor dan pengusaha. Investor merupakan seorang yang mengeluarkan uang untuk mendapatkan keuntungan di mana orang tersebut tidak memiliki skill atau keterampilan yang khusus. Sedangkan, pengusaha adalah seorang yang memiliki keterampilan khusus akan tetapi tidak memiliki cukup modal.

Untuk mengatur pembagian hasil dalam islam untuk pembagian keuntungan secara halal, maka Al-Mudharabah  bisa menjadi salah satu solusi untuk pembagian hasil secara halal dan menjauhi riba serta dosa. Pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagi hasil sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُ كَانَ يَدْفَعُ الْمَالَ مُقَارَضَةً إِلَى الرَّجُلِ وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَمُرَّ بِهِ بَطْنَ وَادٍ وَلاَ يَبْتَاعُ بِهِ حَيَوَانًا وَلاَ يَحْمِلَهُ فِى بَحْرٍ فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ ضَمِنَ ذَلِكَ الْمَالَ قَالَ فَإِذَا تَعَدَّى أَمْرَهُ ضَمَّنَهُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ.
“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:
1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
3. Ra’sul-maal (modal)
4. Al-‘Amal (pekerjaan)
5. Ar-Ribh (keuntungan)
Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).
Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.
  Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.
Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:

Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.
Bagi hasil dalam islam akan berlaku dan pengusaha berhak mendapatkan keuntungan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya. Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Pengusaha tetap berhak mengambil jatah perbulan dari usahanya. Yaitu apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa. Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.
Pada intinya, sistem bagi hasil dalam islam atau yang disebut sebagai Al-Mudharabah adalah sesuatu yang harus dianut dalam sistem ekonomi islam. Karena pada dasarnya, dengan sistem bagi hasil yang seperti ini akan membuat pembagian menjadi lebih jelas dan menjauhi riba serta dosa. Al-mudharabah berlaku sesuai kesepakatan prosentase pembagian antara investor dan pengusaha. Akan tetapi, Al-Mudharabah menjelaskan bahwa sebelum keuntungan dibagi antara investor dan pengusaha, kewajiban pengusaha adalah mengembalikan modal 100% kepada investor. Itulah kewajiban yang harus dilunasi oleh pengusaha sebelum keuntungan dibagi antara investor dan pengusaha.



III. PENUTUP

A. Kesimpulan

  Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparan dapat disimpulkan bahwa sistem bagi hasil (maro) dalam pertanian sesuai dengan hukum Islam yaitu sistem Al-Mudharabah.



DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2016. Diakses dari <m.eramuslim.com/ekonomi/masalah-bagi-hasil-sawah-muzara-039-ah.htm>

Anonim. 2015. Diakses dari <al-badar.net/pengertian-ketentuan-dan-hikmah-mukhabarah/>

Haroen, N., dan  Fiqih M. 2000. Sistem Bagi Hasil Menurut Hukum Islam. Gaya Media Pratama, Jakarta. 
Pasaribu, C., K. Lubis,  dan Suhrawardi. 2006. Perjanjian Dalam  Islam. Sinar Grafika,  Jakarta.



Demikianlah Info postingan berita SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

terbaru yang sangat heboh ini SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.

Anda sedang membaca posting tentang SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM dan berita ini url permalinknya adalah https://nyimakpelajaran.blogspot.com/2017/08/sistem-bagi-hasil-maro-dalam-pertanian.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SISTEM BAGI HASIL (MARO) DALAM PERTANIAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM"

Posting Komentar