MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
Sabtu, 26 November 2016
Histamin,
KBHP,
Kimia dan Biokimia Hasil Perikanan,
Kuliah & Sekolah,
Makalah,
pelagic,
pelagis,
scombroid
Edit
MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin” - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.
Judul Posting : MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
Link : MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
Anda sedang membaca posting tentang MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin” dan berita ini url permalinknya adalah https://nyimakpelajaran.blogspot.com/2016/11/makalah-kimia-dan-biokimia-hasil.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.
Judul Posting : MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
Link : MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN
“Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
Disusun Oleh :
1. Rana Alifa Rosmia Efendi (14/365095/PN/13671)
2. Ayunda Rachmawati (14/365102/PN/13676)
3. Rahmadi Susanto (14/365122/PN/13687)
4. Alifa Octaviana Rachma (14/365216/PN/13732)
5. Amara Faiz Wriahusna (14/367219/PN/13822)
LABORATORIUM TEKNOLOGI IKAN
DEPARTEMENT PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
Pencegahan dan Penanggulangan Histamin
Tujuan
1. Mengetahui pencegahan terbentuknya histamine dalam daging ikan
2. Mengetahui penanggulangan keracunan histamine dalam tubuh manusia
Pembahasan
Histamin merupakan senyawa amin biologis heterosiklik primer aktif yang terbentuk pada fase post mortem daging ikan famili Scombrois dan non-Scromboid yang banyak mengandung histidin bebas (Nahla dan Farag, 2005). Sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491 mg/100g daging, mahi-mahi 344 mg/100g, cakalang 1.192 mg/100gr, tuna ekor kuning 740 mg/100gr, kembung 600 mg/100gr Histamin terbentuk melalui dekarboksilasi terhadap asam amino histidin oleh enzim dekarboksilase eksogenus yang dihasilkan oleh mikroba pada ikan (Ndaw et al, 2007). Histamin dengan kadar rendah tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, karena keracunan dan gejalanya hanya terjadi bila histamin masuk ke dalam aliran darah. Kandungan histamin pada ikan segar umumnya sekitar 10-15mg/100g (Ozogul et al,2004).
Ikan dapat mengandung sejumlah histamin yang bersifat toksik tanpa menampakan karakteristik pembusukan jika diamati melalui parameter sensorik yang umum digunakan, ikan yang mengandung histamin lebih dari 100 mg/100 g dapat menyebabkan sakit dengan simtom kardiovaskula (tubuh serasa berputar, urticaria, hipotensi, dan pusing), gantroenteritis (kejang perut, diare, dan muntah), dan neurologis (sakit dan paraesthesiae)(McLauchin,2005). Suhu rendah dapat mengontrol bakteri pembentukan histamin, tetapi enzimhistidin dekarboksilase yang telah terbentuk akan terus menghasilkan histamin walaupun bakteri sudah tidak aktif. Enzim dekarboksilase aktif pada ataupun mendekati suhu pembekuan (Sea Grant Collage Programe,2001). Aktivitas enzim histidin dekarboksilase dipengaruhi oleh factor pH,suhu, dan ketersediaan oksigen yang rendah, aktivitas enzim tersebut paling tinggi pada suhu 37 ͦ C dan pH optimum adalah 6. Pertumbuhan bakteri histamin dan enzim histidin dekarboksilase pada umumnya dapat dihambat pada suhu 5 ͦ C atau lebih rendah. Penghambat aktivitas enzim histidin dekarboksilasi merupakan salah satu cara untuk mengontrol terbentuknya histamin, karena apabila histamin telah terbentuk , maka akan sulit untuk menghilangkan histamin yang telah ada pada ikan baik dengan cara pemanasan atau pembekuan (Wendakoom & Sakaguchi, 1995).
Pencegahan terbentuknya histamin pada tubuh ikan salah satunya dapat menggunakan larutan quarcetin yang merupakan senyawa natural yang tergolong ke dalam jenis flavonoid yang terbentuk dari dua cincin benzene yang dihubungkan dari dua cincin benzene yang dihubungkan dengan cincin heterosiklikpiron (National Toxicology Programme,1992). Quartenin memiliki sifat antibakteri terhadap beberapa bakteri penghasil hsitidin dekarboksilase dan histamin (Riviere et al, 2009). Menurut Nanda et al (2013) perlakuan penambahan senyawa quercetin dengan konsentrasi berbeda pada daging ikan tongkol menyebabkan penurunan kadar histamin yang signifikan, selain itu aktivitas quercetin dalam menghambat pembentukan histamin mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan.
Kadar Histamin
Pada gambar 1 merupakan tampilan grafik yang menunjukan kadar histamine dengan penambahan quercetin dalam berbagai konsentrasi. Berdasarkan grafik diatas kadar histamin daging ikan tongkol dengan penambahan quercetin dalam berbagai konsentrasi meningkat secara signifikan (p<0,05) seiring berjalannya proses penyimpanan. Peningkatan kadar histamin yang pesat merupakan akibat dari pertumbuhan bakteri penghasil histamin yang optimum. Terhambatnya pertumbuhan bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase dan histidin ammonia-lyase, yaitu Pseudomonas sp., E. coli (Badiwat et al. 2011), Micrococcus luteus (Santas et al. 2010), Staphylococcus aureus (Hirai et al. 2010) merupakan salah satu penyebab melambatnya penurunan jumlah histidin selama penyimpanan. Penambahan quercetin menyebabkan terhambatnya proses pembentukan histamine selama 36 jam penyimpanan. Sifat antibakteri quercetin berperan terhadap perlambatan pertumbuhan bakteri penghasil histamin pada awal penyimpanan yang mengakibatkan perlambatan akumulasi enzim histidin dekarboksilase.
Kadar Histidin
Pada gambar 2 yaitu merupakan suatu grafik yang menunjukan kadar histidin daging ikan tongkol dengan penambahan quercetin dalam berbagai konsentrasi turun secara signifikan (p<0.05) seiring berjalannya proses penyimpanan. Ziaeian et al. (2008) melaporkan bahwa kadar histidin ikan tuna (Thunnus tonggol) juga mengalami penurunan selama penyimpanan. Daging ikan tanpa penambahan quercetin mangalami penurunan histidin paling besar selama penyimpanan. Penurunan asam amino histidin selama penyimpanan diakibatkan oleh kerusakan enzimatis akibat aktivitas enzim histidin dekarboksilase (Kanki et al. 2007) dan L-histidin ammonia-lyase yang menghasilkan histamin dan glutamate (Stifel dan Herman 1971). Sifat antioksidatif senyawa quercetin pada daging ikan berperan besar dalam terhambatnya reaksi hasil oksidasi lemak dengan histidin dan kerusakan oksidatif terhadap histidin.
Analisis TPC
Pada gambar 3 yaitu merupakan gambar grafik TPC yang menunjukan tingkat populasi bakteri yang ada pada daging ikan tongkol. Dalam hal ini penambahan quercetin mempengaruhi tingkat pertumbuhan dari suatu bakteri/mikrobia dalam daging ikan. Berdasarkan teori bahwa penambahan quercetin itu menghambat pertumbuhan dari mikrobia/bakteri yang menghasilkan histamine. Akan tetapi, berdasarkan grafik terjadi peningkatan dari pertumbuhan mikrobia selain mikrobia penghasil enzim HDC sehingga penambahan quercetin menghambat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan enzim HDC. Mekanisme kerja antibakteri quercetin berkaitan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, penghambatan fungsi membran (Cushnie dan Lamb 2005) motilitas bakteri (Abdullah 2009) dan penyebaran koloni (Hirai et al. 2010). Jayamaran et al. (2010) melaporkan bahwa quercetin menyebabkan kerusakan enzimatis pada DNA.
Beberapa turunan asam benzoat seperti 4-chlorobenzoic acid dan p-chlorobenzoic acid (NSC 8444) atau 4-aminobenzoic acid atau p-aminobenzoic acid (NSC 7627) juga dilaporkan sebagai inhibitor bagi enzim histidin dekarboksilase karena senyawa benzoat dapat menghambat pertumbuhan kapang dan khamir, bakteri penghasil racun, spora bakteri, bakteri pembusuk dan kerja enzim. Asam Benzoat merupakan bahan pengawet makanan yang dinyatakan aman dan diizinkan penggunaannya dalam pangan (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2002). Menurut Heruwati et al.(2008), penambahan asam benzoat dapat menghambat pertumbuhan bakteri histamin maupun produksi histamin tanpa mempengaruhi nilai pH dan kadar air pada ikan dan juga asam benzoat akan sangat efektif jika digunakan dengan konsentrasi 15 mM pada suhu 40oC dengan pH 6,0 buffer fosfat serta dengan penambahan ion Fe2+ sebagai koenzim.
Efektivitas Asam Benzoat Sebagai Inhibitor Enzim HDC
Hampir semua enzim dapat dihambat oleh senyawa kimia tertentu, yang disebut sebagai senyawa penghambat enzim (Lehninger, 1982). Penghambatan enzim HDC mengakibatkan tertundanya atau tidak terbentuknya produk sehingga mengakibatkan pengurangan atau bahkan tidak dihasilkannya histamin (Wendakoon & Sakaguchi,1995).
Hasil pengamatan dibawah ini menunjukkan bahwa asam benzoat merupakan senyawa penghambat enzim HDC. Asam benzoat merupakan tipe asam lemah tetapi paling efektif digunakan sebagai senyawa pengawet (Warth, 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Lane & Snell (1976) juga melaporkan bahwa 5,5’-dithiobis (2- nitrobenzoic acid) atau yang disingkat DTNB, yang merupakan senyawa turunan asam benzoat, dapat menghambat aktivitas enzim HDC secara kinetika pada proses order kedua (Kapp = 660 ± 20 M-1 min-1 pada pH 7,6 dan suhu 25oC).
Gambar 1 menunjukkan bahwa penambahan asam benzoat pada konsentrasi 15 mM mempunyai kemampuan menghambat tertinggi dengan aktivitas enzim sebesar 0,17 U. Sangat besar kemungkinan bahwa hal ini berkaitan dengan pH substrat, karena penambahan asam benzoat mempengaruhi pH substrat, sedangkan aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH substrat.
Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim HDC
Enzim merupakan senyawa yang labil terhadap panas dan dapat terdenaturasi oleh panas. Kenaikan suhu akan mengakibatkan cepatnya terjadi inaktivasi enzim (Reed, 1975). Penelitian yang dilakukan oleh Eitenmiller et al. (1982) melaporkan bahwa penurunan aktivitas enzim HDC terjadi pada suhu di atas 40oC. Akan tetapi, hasil pada penelitian jurnal yang kami acu ini terlihat bahwa enzim HDC dapat dihambat dengan asam benzoat pada semua variasi suhu, dan pada suhu 40oC pengaruh penghambatan enzim HDC adalah yang terbesar dibandingkan perlakuan suhu yang lain.
Gambar 2 menunjukkan bahwa dengan inhibitor asam benzoat, suhu optimum penghambatan adalah antara 30-40oC.
Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim HDC
Faktor pH mempengaruhi kombinasi antara enzim dan substrat, pH juga mempengaruhi kombinasi antara enzim dan inhibitor (Whitaker, 1972). Faktor pH mempengaruhi stabilitas enzim, pengikatan substrat dan reaksi katalisis. Perubahan pH akan mengakibatkan perubahan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Hal tersebut akan mengakibatkan perubahan konformasi gugus aktif sehingga aktivitas katalitik enzim akan terganggu (Segel, 1975).
Gambar 3 menunjukkan bahwa aktivitas enzim HDC yang ditambah dengan 15 mM asam benzoat dapat dihambat pada semua variasi pH yang diuji. Berkaitan dengan hal tersebut, Eitenmiller (1982) mengatakan bahwa aktivitas optimum untuk enzim HDC adalah pada pH sekitar 6. Hal itu kemungkinan besar merupakan pH optimum hubungan substrat-enzim. Dengan adanya inhibitor, hubungan tersebut dapat terganggu, oleh karena itu pada pH tersebut justru aktivitas enzim menjadi paling rendah.
Pengaruh ion logam divalen terhadap aktivitas enzim HDC
Ion logam memiliki peran yang penting sebagai aktivator bagi enzim dengan cara berikatan pada enzim dan mempengaruhi aktivitas enzim tersebut (Segel, 1975). Ion-ion logam divalen mempengaruhi konformasi pada gugus aktif enzim, sehingga enzim mampu melakukan aktivitas katalitik (Smith et al., 1991). Substansi kompleks apapun yang memindahkan atau tidak sebuah kation esensial dari sebuah apoenzim merupakan inhibitor dari enzim tersebut. Faktor penghambatan oleh ion juga dipengaruhi oleh pH dari enzim tersebut (Whitaker, 1972). Dalam hal tersebut, ion Fe2+ diduga merupakan ion penghambat enzim HDC yang dapat bekerja secara optimal pada pH dan suhu optimum penghambatan enzim HDC.
Gambar 4 menunjukkan bahwa penghambatan enzim tertinggi terjadi pada penambahan ion Fe2+ dengan aktivitas sebesar 0,27 U. Dengan demikian ion Fe2+ potensial digunakan untuk penghambatan pembentukan histamin.
Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa penambahan asam benzoat dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga jumlah histamin yang terbentuk menjadi sangat sedikit. Perendaman ikan memiliki nilai paling tinggi karena bakteri sangat cocok hidup di lingkungan yang lembab. Mekanisme penghambatan asam benzoat dimulai dengan absorpsi asam benzoat yang mempunyai pH rendah masuk ke dalam sel. Setelah mencapai sitoplasma (yang mempunyai pH antara 6,0 dan 7,0), akan terjadi proses disosiasi, sehingga menghasilkan basa konjugat. Pelepasan proton di dalam sitoplasma sangat potensial mengakibatkan keadaan asam di dalam sitoplasma tersebut, sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri (Hazan et al., 2004). Dalam hal ini, asam benzoat menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk histamin.
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa penambahan asam benzoat tidak mempengaruhi kadar air dan pH dari ikan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena waktu perendaman yang singkat, sehingga tidak memungkinkan larutan asam meresap ke dalam daging ikan, melainkan hanya di permukaan saja (Dwiyitno et al., 2005). Dengan tidak adanya perbedaan tersebut maka asam benzoat dapat digunakan tanpa mengganggu rasa ikan yang diperlakukan.
Pencegahan histamin dapat dilakukan dengan mengurangi kadar histamin dengan pendinginan ikan sampai 40 ͦ F secepat mungkin, pengeluaran isi ikan yang lebih besar dan memastikan bahwa rongga usus diisi dengan es atau media pendinginan lainnya adalah cara yang baik untuk menghilangkan bakteri yang menyebabkan pembentukan histamin dan memungkinkan lebih cepat terjafi pendinginan pada tubuh ikan (White,1999)
Menurut White (1999) selain pencegahan juga dapat dilakukan dengan mempertahankan kadar histamin agar tetap rendah dengan cara :
1. Jika membeli ian pastikan ikan disimpan dalam kondisi dingin. Pilih ikan yang memiliki mutu baik, dan yang bermutu baik biasanya memiliki kadar histamin rendah yang berkisaran 3,38 mg/ 100 gr.
2. Lakukan thawing ( proses pencairan bahan makanan) ikan beku di dalam refrigerator.
3. Terapkan praktek hygiene sanitasi yang baik selama penyimpanan dan menangani ikan. Praktek ini akan meminimalkan aktivitas mikroba termasuk dalam mendegradasi histidin menjadi histamin.
Keracunan histamin jarang terjadi dan biasanya terjadi karena overdosis, keracunan histamin terjadi jika jaringan ikan yang rusak setelah ditangkap, menghasilkan histamin dalam jumlah yang besar, gejala utama yang timbul yaitu sakit kepala,diare,muntah-muntah,bibir bengkak dan rasa terbakar di tenggorokan. Menurut Hardy dan Smith (1976) keracunan histamin dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi histamin 8-40 mg/ 100g daging ikan
Contoh gejala keracunan : Ruam, kulit kemerahan (flushing), rasa terbakar,dan muka merah.
2. Keracunan sedang, apabila mengkonsumsi histamin 70-100 mg/100gr daging ikan
Contoh gejala keracunan : kulit kemerahan yang persisten (flushing), uritkaria/lesi pada kulit, takikaardia,sakit kepala, ansietas, mual, muntah, dan diarrhea.
3. Keracunan kuat apabila mengkonsumsi histamin 150-400 mg/100 gr daging ikan.
Contoh gejala keracunan : Hipotensi, bronkospasma, angioedema, gangguan pada saluran nafas, dan gagal nafas.
Keracunan histamin yang terjadi di dalam tubuh manusia dapat ditanggulangi salah satunya dengan menggunakan antihistamin. Antihistamin merupakan salah satu obat untuk mengatasi penyakit alergi, penggunaan antihistamin memiliki efek samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap (Judith,2004). Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah pengelpasan atau kerja histamin. Antihistamin digolongkan menjadi tiga generasi yaitu penghambat resptor H1 (AH1) yang berfungsi untuk meredakan alergi, antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) berfungsi untuk meningkatkan sekresi asam lambung, dan untuk menangani peptic ilcer dan penyakit refluks gastroesofagus, antihistamin penghambat reseptor H3 (AH3) berfungsi sebagai stimulant dan mmperkuat kemampuan kognitif, dan antihistamin reseptor histamin H4 (AH4) yang memiliki fungsi sebagai antiinflamasi dan analgesic (Hoan et al, 1978).
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa gatal, iritasi saluran pernafasan,bersin, dan produksi lendir. H1 dan H2 bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H1 dan H2 ( Woosley RL,1996).
Penanganan keracunan histamin juga dapat menggunakan arang aktif, arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang aktif dilakukan aktivasi dengan aktifaktor bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai arang aktif. Arang aktif dapat berfungsi sebagai obat-obatan yaitu untuk menyerap racun dalam tubuh biasanya dalam penyerapan racun yang dapat menyebabkan keracunan pada tubuh, arang yang digunakan sebagai obat disini ialah arang dari kayu yang dibakar dengan cara tertentu. ( Dalimunthe, 2009 )
Menuut White (1999) Pada bidang kesehatan dipakai untuk mengobati keracunan, diare, dan perut kembung, arang aktif ini ketika diperiksa dibawah Scanning Electron Microscopy, akan terlihat pori-pori dalam jumlah yang sangat besar. Dengan gaya Van der Walls yang dimilikinya, pori-pori tersebut mampu menangkap berbagai macam bahan, termasuk bahan beracun. Oleh karena itu arang aktif dapat digunakan pada kasus overdosis obat, keracunan makanan, atau tertelan bahan beracun lainnya. Kemampuan arang aktif dalam menangkap racun hanya terjadi di lambung dan usus, ketika zat beracun belum terserap dan masuk ke dalam peredaran darah. Sehingga, semakin cepat diberikan, semakin banyak racun yang dapat diserap. Namun, tidak semua bahan dapat diserap oleh arang aktif.
Penggunaan arang aktif dapat digunakan dari luar tubuh dan dalam tubuh untuk penggunaan arang aktif dari luar dapat digunakan dengan cara menaburkan bubuk arang aktif secara langsung ke luka-luka lecet, luka gores, atau bisul (luka yang terinfeksi), kemudian dibungkus dengan perban, yang diganti setiap 5 - 6 jam. Tetapi tidak untuk luka sayat yang dalam, yang bibir lukanya mudah menyatu kembali. Bisa juga arang aktif digunakan dari luar dalam bentuk tapal atau kompres. Bubuk arang aktif terlebih dahulu dicampur dengan air sampai menjadi seperti bubur kental, lalu ditaruh di atas kain kasa atau kain perban. Setelah dilipat, lalu ditaruh ke luka atau bisul. Sebaiknya dijaga agar sediaan ini tetap lembab, jangan lekas kering. Sediaan ini diganti setiap 5 – 6 jam tergantung berat-ringannya yang diobati. Arang aktif bisa juga digunakan dengan menggosokkannya bagaikan bedak ke bagian tubuh yang hendak diobati.
Penggunaan arang aktif dari dalam tubuh dapat digunakan dengan meminum campuran arang aktif Bubuk arang aktif terlebih dahulu dicampur dalam gelas sebelum diminum. Taruh bubuk arang aktif sesuai dosis atau ukuran dalam sebuah gelas kosong. Kemudian tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk pelan-pelan sampai seluruh bubuk arang aktif sudah bercampur dengan air. Kemudian penuhkan gelas, lalu minum. Gelas bekas campuran arang aktif itu diisi lagi dengan air untuk membilasnya kemudian diminum. Seperti sudah dikatakan sebelumnya, arang aktif sebaiknya diminum pada waktu perut kosong, atau paling sedikit 1,5 – 2 jam sebelum atau sesudah makan, dan sesudah makan obat yang diresepkan oleh dokter atau obat yang dibeli bebas.
Penggunaan arang aktif dapat memberikan efek samping maka dianjurkan agar meminum air lebih sering untuk menghindarkan kotoran menjadi keras, atau tubuh menjadi kekurangan cairan, Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya yang dapat juga mengadsorbsi zat gizi dan vitamin yang diperlukan tubuh sehingga arang aktif tidak boleh terlalu sering digunakan.
Menurut Olson (2007) tindakan yang dapat dilakukan selain mengguanakan antihistidin bila telah mengalami keracunan histamin adalah :
1. Segera merngsang muntah, dilakukan bila enderita masih dalam kondis sadar dan tidak mengalami kesulitan menelam, dengan mengorek tenggorokan dengan jari.
2. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun bila penderita tidak sadar atau kesulitan dalam menelan.
3. Berikan arang aktif atau norit : Dosis dewasa : 50-100gr, dosis anak 1-2 gr/kg BB
4. Segera dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.
Menurut Olson (2007) pencegahan dapat dilakukan agar tidak mengalami keracunan histamin pada tubuh ,yang dapat dilakukan dengan cara :
1. Pilih ikan yang masih segar dengan melihat insang ikan yang masih berwarna merah segar .
2. Seger mengolah ikan yang sudah dibeli. Jangan biarkan terlalu lama pada suhu kamar.
3. Jika tidak ingin segera diolah, segera cuci dan bersihkan ikan lalu dimasukkan kedalam freezer.
KESIMPULAN
1. Pencegahan pembentukan histamin pada daging ikan dapat dilakukan dengan menurunkan kadar histamin dengan cara memilih ikan yang baik serta penanganan yang baik, selain itu dapat juga dengan menambahakan larutan quarcetin, serta dengan penambahan asam benzoate untuk menurunkan kadar histamin.
2. Penanggulan keracunan histamin dapat dilakukan dengan cara memberikan antihistamin sesuai kebutuhan atau anjuran dokter, pemberian arang aktif sesuai dosis, serta memberikan pertolongan pertama pada penderita keracunan histamin.
SARAN
Sebelum membeli atau mengkonsumsi ikan ada baiknya untuk memilih ikan dalam keadaan baik atau segar agar dapat menghindari keracunan histamin, disamping itu ada bainya untuk dilakukan penangan yang baik dan tepat pada ikan agar dapat mengurangi kadar histamin serta menghambat penambahan jumlah histamin.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2002. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga – Amankan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan,Jakarta.
Dalimunthe, N. A, 2009. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas Menjadi Sabun Mandi Padat, Medan: Sekolah Pascaserjana Universitas Sumatra Utara.
Hardy R, Smith JGM.1976. Storage of mackerel (Scomber scombrus). Development of histamin and racncidity.J. Of the Schi Food and Agric. 27 : Hal 595-599
Heruwati, E.S., Sophia, R.A, Mangunwardoyo, W. 2008. Penghambatan Enzim L-Histidine Decarboxylase dari Bakteri Pembentuk Histamin Menggunakan Asam Benzoat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol 3. No. 2 : 97-106.
Hoan Tjay, Tan, dan Rahardja, Kirana. 1978. Obat-obat penting khasiat,penggunaan dan efek-efek samplingnya. PT Elex Media Komputindo .Jakarta.
Judith Hopfer Deglin dan April Hazard Valleeand.2004. Pedoman Obat Untuk Perawat.EGC.Jakarta.
Mc Lauchin J, Little CL, Grant KA, Mithani V. 2005. Scombritoxic fi sh poisoning. Journal of Public Health Andvance 10: 1093.
Nahla TK. Farag HESM. 2005. Histamine and histamine producing bacteria in some local and imported fi sh and their public health signifi cance. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences 1(4): 329-336.
National Toxicology Programme. 1992. Toxicology and Carcinogenesis Studies of Quercetin in F344/N Rats. U.S.Departement of Health and Human Services, 171 p.
Nanda R P, Tri W A, Widodo F M,. 2013. PENGHAMBATAN PEMBENTUKAN HISTAMIN PADA DAGING IKAN TONGKOL (Euthynnus affi nis) OLEH QUERCETIN SELAMA PENYIMPANAN. JPHP Vol (16) :2.
Ndaw A, Zinedine A, Bouseta A. 2007. Assessment of histamine formation during fermentation of sardine (Sardina pilchardus) with lactic acid bacteria. World Journal of Diary and Food Science 2(2): 42-48.
Olson, K. R., Poisoning and Drug Overdose 5th edition, Mc. Graw-Hill Inc., 2007, p. 204-206. 3.
Ozogul, F., Polat, A., and Ozogul, Y. 2004. The effect of modified atmosphere packaging and vacuum packaging on chemical, sensory and microbiological changes of sardines (Sardinella pilchardus). J. Food. Chem. 85(1): 49–57.
Riviere C, Th i Hong VN, Pieters L, Dejaegher B, Heyden YV, Chau Van M, QuetinLeclercq J. 2009. Polyphenols isolated from antiradical extracts of Mollatus metcalfi anus. Phytochemistry 70: 91-99.
Wendakoon, C.N., and M. Sakaguchi. 1995. Inhibition of amino acid decarboxylase of Enterobacter aerogenes by active components in spices. J.Food Prot. 58(3): 280–283.
White Julian, Clinical Toxinology Short Course 1999 Handbook, Woman’s and Children’s Hospital, Adelaide, 1999.
Demikianlah Info postingan berita MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”
terbaru yang sangat heboh ini MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.
Anda sedang membaca posting tentang MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin” dan berita ini url permalinknya adalah https://nyimakpelajaran.blogspot.com/2016/11/makalah-kimia-dan-biokimia-hasil.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.
0 Response to "MAKALAH KIMIA DAN BIOKIMIA HASIL PERIKANAN “Pencegahan dan Penanggulangan Histamin”"
Posting Komentar