Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat - Hallo semuanya Pembaca Berita, Pada postingan berita kali ini yang berjudul Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat, telah di posting di blog ini dengan lengkap dari awal lagi sampai akhir. mudah-mudahan berita ini dapat membantu anda semuanya. Baiklah, ini dia berita terbaru nya.
Judul Posting : Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
Link : Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
Anda sedang membaca posting tentang Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat dan berita ini url permalinknya adalah https://nyimakpelajaran.blogspot.com/2017/04/kumpulan-cerpen-bahasa-indonesia-singkat.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.
Judul Posting : Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
Link : Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
7 CERPEN BAHASA INDONESIA SINGKAT
Kartu ATM
“Sekarang pakai kartu ATM kalian!”, perintah Bu Nisa, guru Agama kami.
ATM itu singkatan dari Aku Tidak Menyontek. Untuk mendapat kartu itu kita harus mematuhi sebuah peraturan, yaitu tidak menyontek. Kartu ATM dipakai saat ulangan dan saat latihan. Tapi, aku tidak mempunyai kartu ATM, karena aku orangnya tidak pintar dan malas belajar.
Akhirnya, ulangan pun dimulai. Aku mengerjakan soal-soal itu. Tapi, nomor 1, 3, 4, 7 dan 9, aku kesulitan. Kulihat ke sampingku untuk bertanya. Sayangnya ia memakai kartu ATM. Kulihat ke arah lain. Mereka juga memakai kartu ATM. Bu Nisa tersenyum melihatku. Akhirnya, aku pun bertanya ke Varia dengan mengancam kalau tidak jawab, ia tidak akan boleh pulang denganku. Tapi, ia menunjukkan kartu ATMnya. Aku mulai merasa kesal. Aku pun menjawab soal itu dengan asal-asal.
Saat Pulang…
Aku langsung berlari ke mobil Ayah. Aku biarkan Varia mencariku. Biarin aja dia mencariku. Siapa suruh ia tidak memberiku jawaban. Aku pun memasuki mobil Ayah. Kak Fani, kakak perempuanku, sudah berada di dalam mobil.
“Varia mana, Len?”, tanya Ayah. “Mana aku tahu”, ucapku sambil melihat ke arah Ayah. “Kita tunggu aja, ya”, kata Ayah.
Aku benci mendengar Ayah berkata begitu. Kulihat Varia membuka pintu mobil dengan muka pucat dan penuh dengan keringat.
“Kamu kenapa tinggalin aku, Len?”, tanya Varia. “Siapa suruh tadi kamu begitu”, ucapku dengan suara sedikit kasar. “Varia, kamu pakai kartu ATM juga?”, tanya Kak Fani. “Iya, Kak”, jawab Varia. “Kakak juga ada”, kata Kak Fani sambil menunjukkan kartu ATMnya. “Kartu ATM itu apa?”, tanya Ayah.
Kak Fani dan Varia menjelaskan kartu ATM kepada Ayah. Aku hanya terduduk diam memandangi jendela. Setelah selesai menjelaskan, Ayah pun mengerti.
“Wah… Helen ada?”, tanya Ayah. “Nggak ada, Yah”, jawabku menundukkan kepalaku. “Kamu tahu, gak, Len? Kalau ikut ATM, kita akan dapat kelebihan, loh”, kata Varia sambil menyodorkan sebuah kertas. “Wah… Aku mau ikut, Var. Besok aku daftar, deh sama Pak Stanlius. Kamu temeni aku, ya, Var”, ucapku tersenyum setelah membaca kertas itu. “Ok”, kata Varia.
INDAHNYA MEMAAFKAN
Aku masuk ke kelas yang hanya ada Reyhand. Sekolah sudah sepi, kurasa semua murid yang beragama Kristen sudah memulai ibadah. Seperti biasa Reyhand mana pernah ikut beribadah setiap hari jum’at, kelihatan dengan sifat dia selama ini. Kucoba untuk cepat mengambil Alkitab yang entah kutaruh di sisi tas sebelah mana. “Ayolah, Alkitab mana dirimu bisa mati aku digampar pak Doni kalu gak bawa Alkitab” kataku pada diri sendiri.
Tiba-tiba cipratan air membasahi baju melayuku, sudah pasti ini ulah si Reyhand yang berada pas di belakangku. Benar-benar anak ini mau cari masalah samaku.
“Hey Reyhand, Cari mati ko ya!” kataku kasar
“Yaelah, Yosi, Yosi, mau ibadah tapi ngomong jorok. Kurang memalukan apa lagi itu” katanya santai seperti orang sok baik
“Masih baik aku niat ibadah daripada kau gak pernah kuliat ibadah, sok suci lagi, sifat pun dah sama kayak iblis” bentakku
Aku mencoba berjalan cepat dengan pakaian melayu yang menyebalkan ini, setelah menemukan Alkitab aku mencoba keluar dari kelas tapi Reyhand menghalangiku di pintu
“Ngapain ko ikut ibadah, gak guna buat orang kayak kau, ngerti kau Yos?”
“Heh, dasar iblis ngehasut biar gak ibadah. Maaf lah ya aku masih ingat Tuhan” kataku mendorongnya
Dia menyandungku hingga aku terjatuh ke kubangan air yang jorok, kini aku sudah dibasahi oleh air yang jorok. Aku menamparnya, malah kurasa itu kurang untuk orang kurang ajar seperti dia.
Aku datang lama ke tempat ibadah, hanya aku yang terlambat ibadah saat ini. Dengan malunya aku duduk di luar, mengenaskannya, aku dihampiri oleh Pak Doni
“Kamu kenapa terlambat” katanya membuatku keringat dingin, aku sudah mempersiapkan diri untuk di tampar saat ini
“Tadi terlambat bangun pak” jawabku pelan
Bapak itu lalu menamparku, itu hal yang biasa untuk murid yang terlambat sepertiku. Bapak itu menyuruhku mengutip sampah yang ada di sekitar kelas tempat ibadah kami walau dengan keadaan hujan begini. Lebih malunya lagi, aku diperhatikan oleh Reyhand dari kelas, kurasa ia sudah memperhatikan aku sejak ditampar pak Doni. Aku hanya merunduk malu, mungkin tamparan pak Doni tadi setimpal dengan tamparan yang kuberi pada Reyhand.
Setelah memastikan tak ada sampah lagi aku duduk kembali di luar kelas ibadah, aku memang masih mendengar suara ibadah itu. Kudengar Pak Doni sedang berkhotbah tentang buah-buah roh, aku merenungkan khotbah pak Doni. Sejenak aku berpikir tentang sikapku pada Reyhand, aku tidak menerapkan buah-buah roh padanya. Aku tidak mengasihi dia, aku tidak pernah damai dengannya, aku gak bersikap baik apalagi sabar, aku juga tidak lemah lembut, aku juga tidak bisa menguasai diriku. Aku merenungkannya sambil memerhatikan Reyhand yang kulihat sedang di dalam kelas, sepertinya dia juga melihatku. Baiklah, sekarang aku mau bertekad untuk berubah, aku gak akan bersifat seperti itu lagi pada Reyhand. Tuhan, Bantu aku. Aku tau ini sangat sulit, apalagi menanggapi sikap Reyhand yang seperti itu.
Ibadah sudah selesai, aku ke kelas dengan wajah yang lesu. Aku melihat Reyhand yang dari tadi bingung melihatku, aku tau ini sikapku yang berbeda dari biasanya.
Beberapa hari berlalu
‘Yess aku bisa berubah’ kataku dalam hati setelah melihat sikap Reyhand akhir-akhir ini yang kebingungan dan sepertinya merasa bersalah.
“Yosi, kau marah ya samaku?” katanya tiba-tiba mengejutkanku
Aku hanya diam, aku harus ingat untuk menguasai diriku.
“Aku minta maaf ya Yos? Aku dah buatmu ditampar pak Doni”
“Akulah yang harusnya minta maaf Rey, aku dah kurang ajar kali nampar kau waktu itu” kataku seperti orang baik
“Akulah yang kurang ajar dah buat kau marah-marah waktu itu. aku nyesal kali lho Yos, aku takut kali ko gak mau ampuni aku karena waktu itu”
“Yaelah, Rey masak aku nggak mau ampuni kau. emang aku siapa? Tuhan Yesus aja mau mengampuni masak aku enggak” ucapku sambil menyengir
“Makasih ya Yos”
Persahabatan Yang Hancur Karena Cinta
Cinta itu memang kadang membuat orang lupa akan segalanya. Karena cinta kita relakan apapun yang kita miliki. Bagi kaum wanita mencintai itu lebih baik daripada dicintai. Jangan terlalu mengharapkan sesorang yang belum tentu mencintai kita tapi terimalah orang yang sudah mencintai kita apa adanya. Mencintai tapi tak dicintai itu seperti olahraga lama-lama supaya kurus tapi hasilnya nggak kurus-kurus. Belajarlah mencintai diri sendiri sebelum anda mencintai orang lain.
Gue Amel siswa kelas X. Dulu gue selalu menolak dan mengabaikan orang yang mencintai gue, tapi sekarang malah tebalik gue selalu diabaikan sama orang yang gue cintai.
Gue suka sama teman sekelas gue dan plus dia itu teman dekat gue, udah lumayan lamalah. Cowok itu namanya Nino anak rohis. Gue suka sama dia berawal dari perkenalan terus berteman lama-lama dekat dan akhirnya gue jadi jatuh cinta gini.
Oh iya gue punya temen namanya Arum, dia temen gue dari SMP. Arum gue dan Nino itu berteman dekat sejak masuk SMA.
Suatu hari gue ngeliat Arum sama Nino itu bercanda bareng dan mereka akrab banget seperti orang pacaran. Jujur gue cemburu, tapi gue nyembunyiinn itu dari Arum.
Lama-lama capek juga mendam rasa suka kayak gini. Akhirnya gue mutusin untuk cerita sama Arum.
``Rummmm gue mau ngomong sesuatu, tapi jangan bilang siapa-siapa``
``Ngomong apa?`` tanya Arum
`` Jujur gue suka sama Nino udah lama, dan gue cemburu kalo lo dekat sama Nino!`` Jawab
Amel
`` Lo suka Nino? Serius?`` Tanya Arum
`` Iya, tapi lo jangan bilang Ninonya`` gertak Amel
`` Iyaiya maaf ya kalo gue udah buat lo cemburu``
`` Okee ``
Amel makin lama makin dekat dan Amel susah untuk ngelupain Nino. Amel berfikir Nino nggak akan pernah jatuh cinta sama Amel. Walau Amel udah ngerasa seperti itu tapi dia tetap berjuang. Tanpa disadari Arum ternyata juga suka sama Nino.
Amel mengetahui kalo Arum suka sama Nino. Nggak disengaja Amel membaca buku diary Arum. Disitu tertulis curhatan Arum tentang perasaannya kepada Nino.
Setelah Amel membaca buku diary Arum, dia merasa kecewa karena temen sendiri juga suka sama cowok yang sama. Tapi Amel berfikir rasa suka itu datangnya tiba-tiba jadi siapa pun berhak untuk suka sama Nino. Amel tetap terus berjuang mengambil hati Nino, walau harapanya kecil.
Di taman sekolah Amel melihat Arum dan Nino sedang berincang-bincang, tapi ini beda mereka terlihat serius. Amel penasaran dan akhirnya ia nguping dibalik pohon.
``Ruummm gue suka sama lo, lo mau nggak jadi pacar gue?`` Tanya Nino
Arum kaget dia bingung harus jawab apa, tapi akhirnya Arum menerima Nino jadi pacarnya tanpa memikirkan perasaan Amel sahabatnya sendiri.
`` Iya aku mau`` Jawab Arum
Amel yang mendengar jawaban Arum dibalik pohon kaget, dia tak menyangka sahabatnya akan tega. Tanpa berfikir Amel keluar dari belakang pohon.
`` Rumm lo pacaran sama Nino? Congrast ya lo udah bikin gue sakit hati``
Arum dan Nino kaget tiba-tiba Amel muncul dari belakang pohon dan bilang sperti itu.
`` Maafin gue Mell, tapi gue cinta sama Nino``
`` Yaudahlah ``
Amel langsung pergi meninggalkan Arum dan Nino. Perasaanya campur aduk nggak karuan, dia masih bingung kenapa temannya tega melakukan hal itu. Padahal Arum tau kalo Amel udah lama ngejar-ngejar Nino.
Persahabatan bisa hancur begitu saja karena cinta. Utamakan sahabat mu daripada pacarmu karena orang yang bakal selalu ada disaat kamu senang dan susah itu sahabat. Persahabatn yang dijalin cukup lama bisa hancur seketika karena masalah cinta.
Pantang Menyerah Kejar Masa Depan
Ibrahim adalah siswa STM BUDI JAYA yang berasal dari keluarga yang sederhana. Ayah ibrahim sudah meninggal dunia sejak ia duduk di bangku smp, sejak saat itu ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga sebagai penjual kue. Saat Ibrahim akan berangkat sekolah ia tak segan untuk membawa kue buatan ibunya untuk dititipkan di kantin sekolahnya dan saat pulang sekolah Ibrahim menyempatkan diri untuk bekerja di bengkel dekat rumahnya untuk meringankan beban ibunya, dengan ilmu yang didapatnya di sekolah Ibrahim gunakan untuk bekerja. Beruntung pemilik bengkel tersebut sudah mengenal baik Ibrahim dan keluarganya.
Uang yang ia dapatkan sebagian ia tabung dan sebagian ia berikan kepada ibunya untuk keperluan sehari-hari. Tujuan Ibrahim menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit karena ia ingin kuliah, ia punya keinginan untuk merubah ekonomi keluarganya menjadi lebih baik, ia ingin menjadi orang sukses agar ia dapat memanjakan ibunya dan adik-adiknya, ia tak mau lagi melihat ibunya kepanasan jualan sana-sini tapi hasil tak seberapa.
Ibrahim bertekad dapat masuk ke salah satu universitas melalui jalur prestasi karena Ibrahim memang dikenal sebagai siswa berprestasi di sekolahnya. Ibrahim pernah diberi saran oleh Kepala Sekolahnya jika nilai ujiannya dengan rata-rata 9.0 atau lebih, ia dijanjikan akan mendapat beasiswa di Universitas terfavorit, sejak saat itu Ibrahim terus belajar dengan giat agar bisa mendapat prestasi tersebut.
Kini usahanya tak sia-sia. Nilai Ujian Nasionalnya cukup bagus, yaitu: BI (9.2), Mat (9.0), IPA (9.4). Ibrahim masuk ke Universitas favorit tersebut dengan beasiswa. Sungguh bahagia tak terhingga saat kabar itu terdengar di telinga ibu Ibrahim. Meski Ibrahim akan meninggalkan ibu dan adik-adiknya untuk beberapa tahun, namun tak masalah bagi ibu Ibrahim, Ibu ibrahim mendukung penuh keinginan putra sulungnya itu.
Kini akhirnya Ibrahim dapat malanjutkan pendidikannya. Berkat kerja keras dan doa kini ia dapat mengejar cita-citanya.
Mimpi Kami Anak Bangsa
Berjalan menyusuri jalanan saat dimana orang lain melakukan aktivitas mereka dan juga anak seusiaku tentunya mereka bergegas ke sekolah. Tidak sepertiku hanya melihat megahnya gedung sekolah tanpa pernah merasakan nyamannya duduk di bangku sekolah menerima pelajaran untuk mengenal dunia. Atau memang sudah menjadi takdir untuk kami orang pinggiran selalu tersisih terutama anak-anak bangsa seperti kami yang tidak layak mengenyam pendidikan. Yang aku lakukan hanya mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk aku bawa pulang. Entah mengapa aku tak pernah lelah menanyakan mengapa ibu tak menyekolahkanku seperti anak-anak yang lain meski jawaban yang ibu berikan tetap saja tak pernah berubah.
“Bu, apa memang anak-anak sepertiku tidak berhak bersekolah?” Tanyaku.
“Kita itu tak butuh sekolah yang penting kamu itu bisa cari uang.” Jawab Ibu.
Aku pernah mendengar di radio “Bahwa anak-anak bangsa harus menerima pendidikan yang layak karena kelak merekalah yang membangun bangsa ini.” Tapi anak-anak seusiaku banyak yang tak menerima pendidikan yang layak bagi mereka bisa makan sehari-hari saja sudah cukup.
“Ayo ngapain ngelamun aja.” ujar temanku.
“Mau kemana?” jawabku.
“Ya mulunglah emang kalau melamun bisa dapat uang.” sahutnya.
“Iya.”
Dion adalah temanku sama sepertiku tak pernah megenal bangku sekolah di pikirannya hanya uang. Baginya tidak perlu pendidikan tinggi atau keahlian khusus untuk memulung hanya butuh karung besar untuk menampung barang-barang bekas.
“Dion apa kamu pernah berpikir kalau kita bisa bersekolah.” tanyaku
“Apa sekolah, mimpi kamu.” jawab Dion.
Walau dia berkata seperti itu sebenarnya Dion punya mimpi yang besar untuk bersekolah namun karena keadaan dia harus mengubur mimpinya. Dan dia pernah berkata kalau sekolah itu hanya untuk orang-orang kaya saja.
Jalanan begitu ramai seorang laki-laki terlihat begitu terburu-buru dengan penampilan sangat rapi dia berusaha menerobos keramaian namun tanpa sengaja dompetnya terjatuh dari saku celana, dan aku tepat berada di belakangnya tanpa pikir panjang aku langsung mengambil dompet itu dan langsung mengembalikannya.
“Pak ini dompetnya jatuh.” ujarku.
“Oh ya.” jawabnya yang langsung pergi dengan terburu-buru.
“Siapa itu Ben?” tanya Dion.
“Tadi dompet bapak itu terjatuh.” jawabku.
“Kenapa gak kamu ambil aja kan lumayan.” sahut Doni.
“Hmmm dasar.”
Tak lama berselang saat aku dan Dion melepas dahaga di pedagang kaki lima aku kembali melihat bapak yang tadi dompetnya terjatuh, dari kejauhan dia seakan menuju ke arah tempat aku dan Dion.
“Kamu tadi yang mengembalikan dompet saya kan?” tanya bapak itu.
“Iya pak.” jawabku.
“Maaf ya tadi saya belum mengucapkan terima kasih karena terburu-buru.” ujarnya.
“Iya pak tidak apa-apa.” sahutku.
Cukup lama kami berbincang namun ada satu pertanyaan yang membuatku sedikit merasa sedih dan sejenak aku terdiam. Yang sebelumnya pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh seorang yang berpenampilan rapi dengan tutur bahasa yang santun.
“Apa kalian berdua ingin bersekolah seperti anak lainnya.” tanya Bapak itu.
“Mungkin tidak ada anak yang tak ingin bersekolah Pak termasuk kami berdua dan teman-teman kami lainnya tapi bagi kami duduk di bangku sekolah dan menerima pendidikan yang layak itu hanya sebatas mimpi.” jawabku.
“Tidak ada yang tidak mungkin” kata yang diucapkan Bapak itu dan kata-kata yang membuatku sedikit tidak percaya bahwa dia menerima kami anak-anak di perumahan kumuh untuk bersekolah dengan layak yang tidak harus memikirkan biaya apapun di sebuah yayasan yang didirikannya.
Aku dan Dion seakan membisu merasa tidak percaya, yang dulu bersekolah adalah mimpi sekarang menjadi kenyataan.
Secercah Asa
Saat itu, aku masih berusia 9 tahun. Ayahku sudah meninggal, beliau hanya mewariskan malaikat tanpa sayap padaku, Ibuku. Aku sudah merasakan kerasnya hidup dimana anak-anak seusiaku hanya menikmati harta yang mengalir dari orangtuanya, tanpa harus bersusah payah. Aku iri! Mereka dengan mudahnya menempuh pendidikan, sedangkan aku? Untuk pergi ke sekolah saja, aku harus berjuang. Apa ini yang dinamakan dengan adil? Namun, dibalik getirnya kehidupan ini, selalu ada kata-kata yang terangkai dari bibir mungil Ibuku.
“Ibu hanya ingin, kamu rajin belajar. Ibu yakin, kunci kesuksesan ada di genggamanmu.”
Usiaku semakin bertambah, dan keluhan-keluhan akan kehidupan semakin redup. Aku masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Prestasiku di sekolah semakin gemilang, saat aku meraih juara cerdas cermat tingkat kabupaten. Aku merasa, bukan hanya orang terpandang yang bisa meraih mimpi.
Malam itu, hujan deras mengguyur bumi. Aku hanya diselimuti oleh rasa khawatir, karena Ibuku belum pulang. Tak seperti biasanya, ia pulang semalam ini. Rasa khawatirku semakin memuncak, ketika seseorang datang ke rumahku dan ia berkata, “Ibumu masuk Rumah Sakit karena kecelakaan tadi sore.”
Runtuh semua hasratku. Harta paling berharga yang kumiliki, kini berada dalam masa sulitnya.
Di rumah sakit, aku melihat seseorang yang baru saja ke luar dari ruang Ibuku. Aku mengabaikannya. Aku masuk ke dalam ruangan, lalu memandang wajah Ibuku dan menangis di atas tangannya yang lembut. Rasa khawatirku semakin mereda, saat Ibuku mulai menggerakkan tangannya dan membuka matanya. Aku tersenyum. Beliau berkata, “Jangan khawatirkan Ibu, Dika. Jaga diri kamu baik-baik, ya.” Namun, itu semua hanyalah kebahagiaan yang semu. Ibuku kembali terlelap. Terlelap dalam tidur panjangnya tanpa bernafas. Hatiku menjerit kesakitan. Hartaku, telah lenyap bersama angan.
Satu tahun berlalu, kehidupanku semakin cerah. Aku meraih nilai Ujian Nasional tertinggi di sekolahku. Aku semakin yakin, kesuksesanku ada di genggamanku. Aku melanjutkan sekolah ke tingkat SMP melalui jalur beasiswa. Meskipun, banyak cibiran dan ejekan yang keluar dari mulut teman-temanku. “Ah, kamu orang miskin, ya. Sekolah aja dikasih gratisan.” Namun, ada sosok Bu Dewi (wali kelasku) yang selalu membangkitkanku. Itulah mengapa aku selalu merindukan sosok Ibuku saat aku bersama Bu Dewi. Kini, cibiran dari teman-temanku berangsur-angsur larut menjadi sebuah kebanggaan. Aku yang semakin menonjolkan prestasiku, membuat mereka ingin berteman denganku. Tanpa melihat status keluarga.
Aku bersyukur, Ibu mewariskan kepadaku bakat yang membuat aku dapat berdiri di atas kakiku sendiri. Hingga bakat itu mampu mengantarku sampai jenjang Sekolah Menengah Atas. Usiaku kini sudah 16 tahun. Dika cilik yang polos, kini telah berubah menjadi Dika yang dewasa. Aku bahagia. Meskipun, aku masih tinggal di gubug kecil tanpa siapapun.
Suatu hari, aku sedang berjualan di stasiun. Aku melihat seseorang yang sepertinya kukenal. Aku ingat! Dia adalah orang yang dahulu keluar dari ruangan Ibuku setelah kecelakaan itu berlangsung. Aku menghampiri dan menyapanya. Namun, ia menatap wajahku seolah-olah mengingat kembali.
“Apa Ibu ingat kejadian lima tahun lalu?” aku mencoba mengingatkannya.
Sontak ia terdiam. Air matanya menetes di pipinya. Sedangkan aku, apakah aku berdosa membuat orangtua menangis karena ucapanku? Ia memelukku dan berkata.
“Kamu anak dari wanita itu? Kamu sudah besar? Maafkan saya, Nak. Saya telah menabrak Ibumu. Saya benar-benar bersalah, maafkan saya, Nak. Saya akan bertanggung jawab untuk merawatmu. Saya akan mengangkat kamu sebagai anak. Kamu mau ya?” air matanya kembali mengalir dengan deras.
“Tak apa, Bu. Dika sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup Dika sendiri. Untuk masalah Ibu Dika, Dika sudah memaafkannya.”
Ia tetap memaksaku untuk menjadikan aku sebagai anak angkatnya. Mungkin, ia ingin menebus kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Ibuku. Aku menerimanya sebagai Ibu angkatku.
Kini, kehidupanku semakin gemilang. Setelah lulus SMA, aku didaftarkan oleh Ibu angkatku untuk kuliah di salah satu Universitas ternama di kotaku. Di Universitas itu, aku mendapatkan banyak hal. Mulai dari kunci masa depan sampai calon pendamping hidup pun aku dapatkan di sana. Tak terasa, aku akan diwisuda. Suatu hari, pelaksanaan wisuda itu berlangsung. Ibu angkatku yang datang untuk melihatku, kembali mengeluarkan air matanya.
“Ibu dan Ayahmu pasti bangga padamu, Nak. Kamu sudah memberikan hadiah terbaik untuk mereka. Seandainya, orangtuamu masih ada disini. Mereka pasti bahagia menyaksikan buah hatinya yang sudah menggenggam masa depannya.”
Perjuanganku tak hanya sampai di sini. Kini, aku sudah menjadi seorang pengusaha ternama di Kota ini. Sudah waktunya untuk memikirkan pendamping hidup. Salmah, kekasihku saat aku masih kuliah. Rencananya, aku akan menikahinya dalam waktu dekat ini.
Semua orang-orang terdekat, sudah menyetujui pernikahan kami. Kami pun menikah. Kini, hidupku semakin terang benderang. Ditemani oleh seorang istri yang cerdas dan anak yang lucu. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan merawat anakku dengan baik. Yang terpenting, ia dapat menempuh pendidikan dengan layak.
Kado Terindah Dari Sahabat
Namaku Luma seorang siswi SMA yang baru saja naik kelas XII. Hari ini aku pulang ke desaku setelah sekian lama tidak pulang karena ngekos di kota tempat aku sekolah. hari ini begitu indah ketika senja menemaniku menyusuri jalan setapak di desaku.
“hey luma…” kata seorang yang memanggilku dari belakang. aku menoleh dan tertegun, sejenak aku berpikir “siapa dia?” batinku bertanya-tanya… dia seorang wanita dengan rambut acak-acakan dan rambut yang sama sekali tak tertata. Sekarang aku ingat dia “May” temanku waktu aku di bangku sekolah dasar. “ya ampun May” sergahku segera menghampiri dan memeluknya. “apa kabar?” tanyaku kemudian “yah seperti yang kamu lihat, aku sekarang susah…” keluhnya seraya duduk di kursi pinggir jalan, aku pun ikut duduk. Aku diam saja namun tetap menyoroti wajahnya yang tampak letih. “kamu harus sekolah sampai tuntas, harus jadi sarjana, biar gak seperti aku..” keluhnya lagi, aku masih diam dengan fikiran bertanya-tanya.
tak lama kemudian seorang anak kecil laki-laki sekita berumur 5 tahun, dengan ingus blepotan menghampirinya. “ibu, aku ingin beli mainan itu” katanya, menunjuk sebuah warung yang menjual mainan tersebut. May menghela nafas kemudian menjawab “ya, nanti kalau ibu sudah punya uang, ibu belikan” putusnya. Anak itu hanya mengangguk dengan wajah muram. “ya beginilah Luma, kalau sekolah ndak sampai tuntas, cari kerjaan susah, suami pengangguran, aku mau ngelamar kerja apa? orang cuma tamatan SD. Setiap hari aku harus mencari sampah di pekarangan rumah orang yang mungkin masih bisa diual, cibiran orang sudah jadi makananku setiap hari” terangnya, aku miris mendengarnya, dia salah satu teman aku yang dinikahkan saat baru lulus SD oleh orangtuanya, ya bisa dibilang pernikahan dini. Waktu itu dia hanya bisa menuruti kemauan bapaknya melawanpun ia tak akan bisa.
“kamu harus tamatkan sekolah kamu setuntas-tuntasnya, biar nggak seperti aku, menyesal kemudian, bapak selalu bilang “andai saja ndok, bapak dulu ndak menikahkan kamu usia dini mungkin kamu tidak akan susah seperti ini” apalah daya nasi sudah menjadi bubur, hidupku sudah seperti ini, kamu harus berjuang dalam belajar, pendiddikan memang bukan segalanya tapi dengan pendidikan kamu bisa meraih segalanya” tuturnya seketika membuka hatiku, bagiku kata-katanya barusan adalah kado terindah yang pernah kuterima dari sahabatku.
Aku jadi teringat program GenRe yang diadakan di sekolahku kemarin, suatu program pemerintah yang merencanakan pernikahan sesuai dengan ketentuan negara dan agama, program tersebut harus disosialisasaikan di seluruh Indonrsia, agar tak ada lagi korban nikah dini seperti temanku May, agar tak ada lagi yang merasakan pedihnya kehidupan tanpa perencanaan sebelumnya, agar indonesia tidak hanya menjadi negara dengan penduduk kuantitas terbanyak tapi juga berkualitas.
Demikianlah Info postingan berita Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat
terbaru yang sangat heboh ini Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian info artikel kali ini.
Anda sedang membaca posting tentang Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat dan berita ini url permalinknya adalah https://nyimakpelajaran.blogspot.com/2017/04/kumpulan-cerpen-bahasa-indonesia-singkat.html Semoga info lowongan ini bisa bermanfaat.
0 Response to "Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia Singkat"
Posting Komentar